Monolog Dalam Kepala: “Namanya Fomototo”
Monolog Dalam Kepala: “Namanya Fomototo”
Blog Article
(Satu lampu menyala. Seseorang berdiri di tengah panggung. Latar hitam. Hanya suara dan pikiran.)
Hari ini aku bangun jam 9,
padahal alarm jam 6.
Ponsel di tangan,
jari otomatis buka notifikasi,
padahal hati belum siap.
Timeline penuh hal besar.
Sukses orang lain.
Kegagalan dunia.
Promo kilat.
Wacana politik.
Tips jadi kaya di usia muda.
Dan aku?
Aku masih bingung mau sarapan apa.
Aku diam.
Kupikir, mungkin aku yang terlalu lambat.
Mungkin aku yang gak cukup produktif.
Atau mungkin…
Dunia yang terlalu cepat?
Lalu, saat scroll tanpa arah,
ada satu kata asing muncul.
Lucu namanya.
Bukan “promo”, bukan “trending”, bukan “diskon gila”…
Aku tertawa kecil.
“Ini apaan lagi?”
Tapi entah kenapa, kuklik juga.
Tak ada warna mencolok.
Tak ada ledakan iklan.
Tak ada ajakan beli, gabung, daftar, atau login.
Hanya ruang kosong.
Dan diam.
Dan satu kalimat:
“Kamu nggak harus jadi siapa-siapa hari ini.”
Aku terdiam.
Untuk pertama kalinya,
internet tidak menyuruhku melakukan apapun.
Tidak meminta validasi.
Tidak membandingkan.
Tidak membuatku merasa kurang.
Fomototo tidak menjanjikan kekayaan.
Tidak menawarkan popularitas.
Tapi ia memberiku hal paling langka di dunia digital:
Rasa cukup.
Hari ini aku tidak jadi siapa-siapa.
Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa jadi aku.
Terima kasih, fomototo.
Bukan karena kau besar,
tapi karena kau memberi ruang bagi yang kecil.
Epilog
Monolog ini adalah potongan dari realita sunyi para pencari jeda.
Fomototo bukan sekadar nama — ia adalah simbol kecil bahwa di tengah gempuran dunia yang keras dan cepat,
masih ada ruang untuk pulang.